Ada cerita menarik dari sahabat karib kami, yang
diceritakan kemarin dirumahku. Dia curhat tentang masa lalunya..
bagaimana proses jadiannya bersuamikan pria yang mendampinya sampai
kini, di usianya yang telah melewati masa pensiun. Waktu dia remaja, dia
adalah gadis desa yang menjadi impian pemuda dikampungnya. Syahdan, ada
seorang remaja yang menyenanginya, cintapun berbalas. Kenangan manis
mereka buat bersama, sayangnya jarum jam terus bergerak, tak ada
pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan, demikian juga dengan
cinta mereka, pun akhirnya tertutup karena sang remaja telah berganti
usia menjadi pemuda. Sesuai kodratnya, dia harus bekerja atauberniaga.
Ke kotalah yang akhirnya menjadi tujuannya.
Bulan
purnama berganti, sang pemuda hanya bisa berkirim surat melalui
perantaraan sahabatnya yang pulang mudik, demikian pula bulan ke dua,
ke tiga dan seterusnya surat diantar oleh kurir yang sama. Di awali dari
perkenalan sebagai kurir, berbasa-basi, dan kunjungan rutin,akhirnya
bersemilah cinta di antara mereka. Cinta antara sang kurir danpenerima
surat. Lupa janji setia dengan pemuda yang merantau demi masa depan.
Cerita cinta pertama tidak mesti harus berakhir dengan pelaminan, cinta
ke dua sang mempelai wanita, membawa kebahagiaan perkawinan
mereka,sampai di hari tua.
Bagi
pemuda yang merantau mencari kerja menyiapkan masa depanpun berakhir
bahagia, dia menjadi seorang pilot, dan berkeluarga. Di kampungnya,
setahunlalu pada saat reuni SMA, mereka berjumpa, dan ada satu hikmah
tersembunyi diantara manis dan pahitnya cinta mereka. Ibarat pohon, yang
perlu disiram secara berkala, cinta pun perlu perhatian rutin, siapa
yang rajin menyirammaka berhak atas buah.. atas bunga yang pohon
berikan, atas cinta yang diberikan.
Pohon
tidak hanya memberikan pelajaran kepada insan yang dimabuk kepayang
cinta, pohon bisa juga memberikan pelajaran kepada insan yang dimabuk
kepayang kepada Sang Pencipta. Ibaratnya akar pohon adalah praktek
keagamaan dan dasar-dasar keagamaan, yang memusatkan perilaku yang
terlihatoleh mata, maka cabang-cabang pohon adalah dimensi spiritualnya
(seperti yang dijelaskan tentang zen pada Budhisme, Jnana-yoga pada
hindu, gnostiksufis pada tasawuf) membawa perilakunya naik menuju kepada
Sang Pencipta yang dilambangkan dengan buahnya.
Keberagaman
spiritual yang dimiliki oleh masing-masing agama, itu ibaratsungai yang
meng"ular", dan melewati antar negara, dan di klaim bahwa sungaiitu
miliknya, tetapi esensinya tetap satu sungai dan satu muara. Kenapa
harus kita bertikai apabila satu muara?
Oleh : Ferry Djajaprana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar